Minggu, 15 Desember 2019

Koperasi dan UMKM sebagai Basis Ekonomi Rakyat

BAB 8
KOPERASI DAN UMKM SEBAGAI BASIS EKONOMI RAKYAT

Jika Michel Chossudovsky (1997), Josep E. Stiglitz (2002), James Petras dan Henry Veltmeyer (2001) mengkritik ketidakadilan dalam ekonomi global secara tajam, Francis Fukuyama (2004) dalam bukunya Statae Building : Governence and World Order in the  21st Century memaparkan bahwa pengaruh globalisasi terhadap pengurangan peran negara dalam hal-hal yang menjadi fungsinya menimbulkan problematika baru, baik bagi pemerintah maupun rakyat secara lebih luas.
Menurut Fukuyama, problem tersebut bukan saja akan memperparah kemiskinan dan kesenjangan sosial, melainkan juga akan menyulut konflik sosial dan perang saudara yang meminta jutaan korban jiwa. Keruntuhan atau kelemahan negara telah menciptakan berbagai malapetaka kemanusiaan dan hak asasi manusia di berbagai penjuru dunia, di antaranya adalah di Somalia, Haiti, Kamboja, Bosnia, Kosovo, Timor Timur, dan sebagainya. Melalui bukunya, Fukuyama berusaha menyakinkan para pemimpin dan masyarakat dunia bahwasanya peran negara harus diperkuat. Kesejahteraan tidak mungkin tercapai tanpa hadirnya negara yang kuat dan mampu menjalankan perannya secara efektif. Begitu pula sebaliknya, negara yang kuat tidak akan bertahan lama jika tidak mampu menciptakan kesejahteraan rakyatnya.
Pentingnya penguatan negara terutama akan sangat berpengaruh dalam penguatan perekonomian nasional yang terombang-ambing oleh berbagai kepentingan negara asing dan pengaruh perusahaan transnasional yang begitu kuat, terutama terhadap modal dan pasar internasional.
Dalam konteks ke-Indonesia-an dan sebagai negara yang memiliki kekhususan dalam sistem ekonomi, sejatinya negara harus mampu memerankan dirinya secara kuat berdasarkan konstitusi yang dibangun (sebagai UUD 1945 dan TAP MPR) yang secara tegas menyatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah sistem yang berdasarkan pada demikrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan). Ini artinya, sistem dalam perekonomian Indonesia memiliki ciri yang khas yang membedakannya dengan sistem perekonomian negara laian pada umumnya.
Jika negara lemah dalam memerankan dirinya, sistem ekonomi yang dibangun akan terombang-ambing dalam berbagai kepentingan yang keberpihakannya bukanlah kepada kepentingan  seluruh rakyat, tetapi hanya kepada sekelompok kecil rakyat, bahkan bukan tidak mungkin kepada kepentingan-kepentingan pihak asing.
Tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai kebijakan negara hanya berpihak kepada golongan tertentu, sebagaimana kasus penggelapan dana BLBI, penguasaan atas berbagai sumber mineral dan bahkan air, serta penguasaan hutan. Hal itu akan berdampak pada penderitaan yang berkepanjangan bagi sebagaian besar kelompok. Kebijakan yang korup tentu tidak termasuk dalam konsep yang ditawarkan Fukuyama sebagai peran negara. Tema yang digagas Fukuyama diantaranya ditujukan kepada peran negara yang seharusnya menolak gagasan kepentingan yang didominasi oleh asing. Negara perlu melakukan prakondisi agar perekonomian dapat berjalan sebagaimana seharusnya yang diperuntukan bagi kemakmuran seluruh rakyat, bukan bagi golongan tertentu.
Sejalan dengan konsep yang ditawarkan Fukuyuma dan mengingatnya besarnya sektor UMKM yang menopang perekonomian Indonesia, maka sejatinya kebijakan pembangunan nasional juga ditujukan guna menciptakan UMKM yang lebih mandiri dan kuat di masa mendatang. Kebijakan pembangunan tersebut tidak hanya sebatas UU, TAP MPR, dan keputusan lainnya, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk riil dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); program riil perbankan dalam mengucurkan dana bagi UMKM; distribusi kekayaan negara tidak berfungsi secara kuat dalam memerankan dirinya guna membangun ekonomi rakyat.

Ekonomi Kerakyatan, Sistem Perekonomian yang Tidak Meminggirkan Koperasi dan UMKM
Sebagai negara yang memiliki kekhususan dalam sistem perekonomiannya, sudah sewajarnya jika sistem perekonomian Indonesia memberikan tempat secara khusus bagi koperasi dan UMKM untuk mengambil bagian dalam pembangunan perekonomian nasional sebagaimana ditegaskan dalam TAP MPR No. XVI/1998 dan diperkuat TAP MPR No. IV/1999, yang secara tegas menyatakan sistem ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi Indonesia. Dari kedua tAP MPR tersebut, beberapa poin penting dimasukkan ke dalam batang tubuh UUD 1945 yang dijabarkan dalam bebrapa pasal setelah amandemen keempat, di antaranya :
Pasal 27 Ayat 2: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian.
Pasal 28D Ayat 2: Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pasal 28H Ayat 2: Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Pasal 28H Ayat 3: Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Pasal 33 Ayat 1: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Pasal 33 Ayat 2: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Pasal 33 Ayat 3: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Pasal 33 Ayat 4: Perekonomian nasional diselenggarakan berdasrkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pasal 34 Ayat 2: Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu dengan martabat kemanusian.
Pendekatan terhadap sistem ekonomi kerakyatan juga dapat dirujuk berdasarkan propenas 202-2004 yang mengandung makna sebagai berikut. Pertama, penegakan prinsip keadilan dan demokrasi ekonomi, disertai kepedulian terhadap yang lemah. Hal ini memungkinkan seluruh potensi bangsa, baik sebagai konsumen, pengusaha, maupun tenaga kerja, serta tanpa membedakan suku, agama, dan gender untuk mendapatkan kesempatan, perlindungan, dan hak untuk memajukan kemampuannya dalam meningkatkan taraf hidupnya dan partisipasinya secara aktif dalam berbagai kegiatan ekonomi, termasuk dalam memanfaatkan dan memelihara kekayaan alam.
Kedua, pemihakan, pemberdayaan, dan perlindungan terhadap yang lemah oleh semua potensi bangsa, terutama pemerintah, sesuai dengan kemampuannya. Pemerintah melaksanakannya melalui langkah-langkah yang ramah pasar. Penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), dan koperasi (termasuk petani dan nelayan kecil) merupakan prioritas utama dalam pengembangan sistem ekonomi kerakyatan. Kepada kelompok penduduk yang mempunyai keterbatasan karena keadaannya, dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan kemampuannya dan diberikan dukungan agar dapat memanfaatkan segala potensi yang ada.
Dukungan yang mendasar dan secara umum diberikan kepada penduduk miskin, antara lain, dengan memberikan pelatihan serta memberikan pendidikan dan pelayanan kesehatan dengan biaya yang terjangkau. Sementara itu untuk memajukan kemampuan dan usaha UMKM (termasuk petani dan nelayan kecil), diberikan berbagai pelatihan serta peningkatan akses ke permodalan, informasi pasar, dan teknologi tepat guna. Langkah-langkah yang ramah pasar tersebut diberikan secara selektif, transparan, dan disertai dengan tugas pengawasan yang efektif.
Ketiga,penciptaan iklim persaingan usaha yang sehat dan intervensi yang ramah pasar. Upaya pemerataan berjalan seiring dengan upaya penciptaan pasar yang kompetitif untuk mencapai efisiensi optimal. Dengan demikian, misalnya hubungan kemitraan antara usaha besar dan UMKM harus berlandaskan kepada kompetensi, bukan belas kasihan. Untuk itu penghapusan praktik-pratik dan perilaku-perilaku ekonomi di luar aturan permainan yang dianggap wajar dan adil oleh masyarakat menjadi prioritas. Praktik-pratik yang dimaksud seperti praktik monopoli serta pengembangan sistem perpajakan progresif yang efektif dan deregulasi yang diarahkan untuk menghilangkan ekonomi berbiaya tinggi.
Keempat,menggerakan ekonomi perdesaan. Oleh karena itu, upaya mempercepat pembangunan pedesaan (termasuk daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan dan daerah terbelakang lainnya) harus menjadi prioritas. Pembangunan desa dapat dilakukan dengan meningkatkan pembangunan prasarana pedesaan dalam mendukung pengembangan keterkaitan desa-kota sebagai bentuk jaringan produktif dan distribusi yang saling menguntungkan.
Kelima,pemanfaatan dan penggunaan tanah dan sumber daya alam lainnya, seperti hutan, laut, air, udara, dan mineral secara adil, transparan, dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat masyarakat adat dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Perangkat hukum yang mengatur tentang sistem ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi Indonesia sudah lebih dari cukup untuk diimplementasikan. Tidak hanya Pasal 33 UUD 1945 dan beberapa TAP MPR, beberapa UU merinci makna demokrasi ekonomi, keadilan berusaha, dan kemakmuran bagi seluruh rakyat sebagai pilar utama dalam menjalankan sistem ekonomi kerakyatan dengan cukup jelas. UU yang dimaksud di antaranya adalah:
UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perekonomian yang menjelaskan tentang koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat secara rinci.
UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, termasuk Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor 236 Tahun 2003 yang mewajibkan pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dengan menyisihkan laba setelah pajak sebesar 1 sampai dengan 3 persen per tahun, termasuk dalam hal ini adalah program kemitraan dengan UMKM.
UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroaan terbatas (PT) yang mewajibkan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang lebih kita kenal dengan CSR.
UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang wajib menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan untuk tetap menciptakan hubungan serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat. Pernyataan ini menunjukkan kewajiban penanam modal untuk menjalankan CSR dengan mengakomodasi kearifan lokal, termasuk dalam memberdayakan ekonomi rakyat setempat berdasarkan potensi setempat pula.
UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang memberikan perlindungan dan hak terhadap akses sumber-sumber ekonomi.
UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang bertujuan meningkatkan fungsi dan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. UU ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Sosial RI Nomor 29 Tahun 2002 dan Nomor 40 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Fakir Miskin Melalui Zakat. Keputusan bersama ini bertujuan untuk memulihkan, membina dan mengembangkan bantuan sosial berupa bantuan modal usaha kepada fakir miskin untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya.

Terlepas dari berbagai kelemahan UU tersebut, paling tidak berbagai produk konstitusi di negara ini telah menyatukan secara tegas perlunya demokrasi ekonomi dan keadilan dalam berusaha yang kesemuanya ditujukan bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, bukan bagi sebagaian rakyat, apalagi semata-mata bagi pemilik modal asing. Manifestasi dari semua itu adalah adanya kewajiban usaha besar dan BUMN untuk mengalokasikan sebagaian keuntungannya bagi pengembangan koperasi dan UMKM. Sementara dalam tataran individu ada pula kewajiban zakat yang bukan hanya kewajiban keagamaan, tetapi sekaligus sebagai bentuk kepedulian dan rasa keadilan terhadap sumber-sumber ekonomi yang dimilikinya.
Perhatian terhadap koperasi dan UMKM adalah suatu hal yang wajar karena dalam kenyataannya, perusahaan swasta besar dan BUMN telah diberikan kesempatan yang sangat luas dan besar oleh pemerintah untuk memperoleh dan mengelola berbagai sumber ekonomi di Indonesia (hak pengelolaan hutan, air, tambang bahkan kemudahan mengakses dana dari bank pemerintah).
Untuk menjamin kepastian terselenggaranya sistem ekonomi kerakyatan, maka dibutuhkan payung hukum dengan membuat “UNDANG-UNDANG SISTEM PEREKONOMIAN NASIONAL” sebagai amanat UUD 1945 Pasal 33 Ayat 5 UU tersebut dibuat agar berbagai produk hukum tentang perekonomian tidak menyimpang dari amanat konstitusi.

Politik Ekonomi dalam Memberdayakan Koperasi dan UMKM
Koperasi dan UMKM menyumbang berbagai indikator makro maupun mikro dalam berbagai aspek perekonomian nasional dengan cukup signifikan. Namun jika dicermati secara kasat mata, perkembang kualitas UMKM dari waktu ke waktu tidak mengalami perubahan yang berarti, terutama menyangkut harapan agar unit usaha mikro berkembang menjadi usaha kecil, usaha kecil menjadi usaha menengah, dan usaha menengah menjadi usaha besar. Terjadinya stagnasi terhadap perkembangan bisnis dalam skala UMKM ini disebabkan oleh bebrapa faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah :
Rendahnya koordinasi antar instansi pemerintah pusat yangterkait dengan pemberdayaan dan pengembangan UMKM, terutama koordinasi antara kementerian yang membidangi UMKM dan departemen yang terkait dengan perdagangan, perindustrian, dan keuangan.
Kurangnya sinkronisasi antara program pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Bahkan di beberapa tempat, tidak sedikit ditemukan program pemerintah pusat yang tidak mengikutsertakan pemerintah daerah, terutama program yangterkait dengan pemberdayaan koperasi dan UMKM.
Tidak jarang, dana pemberdayaan UMKM justru jatuh kepada pihak yang tidak tepat sehingga alokasi dana yang ada tidakdapat dimanfaatkan dengan baik. Bahkan terdapat kesan bahwa jika terdapat aliran dana bagi pengembangan usaha dari pemerintah, maka dana tersebut dianggap sebagai dana hibah yang tidak perlu dipertanggungjawabkan. Dampaknya, tidak jarang dana yang digulirkan justru dipergunakan untuk hal-hal yang konsumtif.
Kekurangakuratan data tentang UMKM, terutama data UMKM yang tangguh dan mandiri yang dapat dijadikan rujukan dan percontohan bagi UMKM lainnya.
Belum optimalnya pemanfaatan teknologi tepat guna, termasuk dalam hal ini tidak seriusnya pemerintah dalam mengembangkan teknologi sederhana yang terjangkau sesuai kemampuan UMKM.
Belum adanya rencana induk penataan dan pembinaan industri maupun PKL yang bersifat utuh dan terpadu.
Belum akuratnya basis data UMKM, terutama data industri kecil, pedagang kecil, maupun PKL.
Kepercayaan lembaga keuangan terhadap UMKM masih sangat rendah sehingga UMKM sulit mengembangkan usaha lebih jauh. Kebanyakan UMKM memperoleh tambahan dana justru dari para lintah darat sehingga pengembangan usahanya tidak berjalan dengan optimal. Bahkan, tidak jarang membawa permasalahan baru karena tingginya tingkat bunga yang dibebankan.
Tidak dijadikannya koperasi sebagai wadah gerakan ekonomi rakyat. Hal ini umumya terjadi karena ketidaktahuan masyarakat terhadap pentingnya koperasi untuk menyatukan kekuatan ekonomi UMKM. Di samping itu, ada sebagian masyarakat dan bahkan “birokrasi” yang memang tidak menginginkan koperasi berkembang sebagai wadah ekonomi rakyat. Hal itu ditujukkan dengan adanya kegiatan dari sebagaian masyarakat yang justru melakukan kegiatan peminjaman uang dengan memerankan diri sebagai lintah darat dan tengkulak. Kegiatan seperti ini banyak terjadi di pasar-pasar tradisional maupun perkampungan-perkampungan kumuh yang memanfaatkan ketidakmampuan masyarakat sebagai mata pencaharian.

Jika berbagai hambatan ini tidak segera ditanggulangi, cita-cita untukmenjadikan UMKM sebagai basis ekonomi rakyat akan semakin jauh dari kenyataan. Jika hal itu belum dapat diwujudkan, apabila mengembangkan UMKM secara bertahap dari satu tingkat ke tingkat lainnya (upaya memperkokokh usaha mikro menjadi usaha kecil, usaha kecil menjadi usaha menengah, maupun usaha menengah menjadi usaha besar), maka apa yang diamanatkan oleh konstitusi sulit diwujudkan.
Dalam konteks ekonomi politik, sejak lahirnya republik ini, pembelaan terhadap koperasi dan UMKM dapat dirasakan melalui melalui politik banteng dengan memberikan kredit dan fasilitas kepada pengusaha-pengusaha pribumi guna menjadikan mereka pengusaha yang tangguh dan mandiri. Namun sayang, dalam perjalannya, justru terjadi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dilakukan oelh para pengambil kebijakan. Pengusaha-pengusaha yang mendapat lisensi umumnya adalah pengusaha yang dekat dengan pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik. Ditambah lagi adanya aksi sepihak dari Angkatan Darat yang mengeluarkan larangan pengambil alihan perusahan-perusahan Belanda tanpa sepengetahuan militer. Cita-cita untuk memperkuat pengusaha pribumi tidak berjalan sebagaimana direncanakan. Hal ini diperparah ketika terjadinya perbedaan pendapat yang tajam antara Bung Karno dan Bung Hatta yang mengakibatkan mundurnya Bung Hatta dari jabatan Wakil Presiden. Peristiwa ini membuat politik menjadi ujung tombak perjuangan negara yang mengakibatkan kegiatan-kegiatan ekonomi terabaikan.
Pada masa Soeharto, dikenal konsep trilogi pembangunan dengan memadukan pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas ekonomi sebagai lokomotif pembangunan yang berupa life service sebagai ujung tombak politik ekonomi dalam merebut hati rakyat. Koperasi dan UMKM dieksploitasi secara politik dengan dibentuknya KUD yang hampir dapat dipastikan tidak memerankan apa-apa dalam kegiatan ekonomi. Ekonomi pada masa Soeharto lebih kepada kolaborasi antara TNI dan etnis Tiongkok dalam memanfaatkan berbagai sumber ekonomi. Pada masa ini, banyak terjadi kasus BLBI yang umumnya bukan dilakukan pengusaha pribumi. Kebanyakan usaha pemberdayaan koperasi dan UMKM hanya terbatas pada sektor sandang dan pangan. Keberpihakan kepada golongan mampu lebih mencolok seperti pada kasus kredit perkebunan besar nasional (PBSN) yang hanya dikenakan bunga 12% per tahun dengan plafon seolah tanpa batas yang hanya dimiliki segelintir orang saja (Marzuki Usman: 2004).
Program pemberdayaan koperasi dan UMKM melalui “proyek” sistem ekonomi rakyat dikonotasikan dengan program pengetasan kemiskinan ataupun program temporer melalui berbagai kebijakan, yang diantaranya adalah binmas, inmas, insus, KUT, kredit candakulak, subsidi benih, subsidi pupuk, dan sebagainya. Dengan program-program ini, praktis pemberdayaan koperasi dan UMKM tidak memiliki subtansi sebagai kekuatan demokrasi ekonomi dan keadilan sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Program ekonomi pada era Soeharto lebih bersifat top down di mana kebijakan pembangunan diarahkan untuk mengejar pertumbuhan secara terus-menerus dan pada titik tertentu diharapkan dapat menciptakan trickle down effect (M. Azrul dan Mukhaer. 2004). Hanya saja dalam praktiknya, karena jumlahnya sangat kecil, dapat dipastikan pengaruhnya hampir tidak terlihat. Di sisi lain, karena sifatnya yang top down, maka sering terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Pada masa pemerintahan B. J. Habibie atau kabinet Reformasi Pembangunan, pemberdayaan koperasi dan UMKM melalui gerakan ekonomi rakyat cukup dapat dirasakan, tetapi karena singkatnya periode kepemimpinan B. J. Habibie, berbagai proyek pemberdayaan tersebut tidak dapat dilanjutkan. Sementara pada masa pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid, pemberdayaan koperasi dan UMKM nyaris tidak terdengar, begitu pula pada masa pemerintahan Megawati.
Pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), wacana terhadap pemberdayaan koperasi dan UMKM dirasakan cukup kuat. Namun dalam kenyataannya acap kali pernyataan-pernyataan SBY berbanding terbalik dengan apa yang telah dikampanyekannya. Salah satu proyek mercusuar yang pernah dicanangkan SBY adalah 100 triliun untuk KUR dan program pemberdayaan masyarakat mandiri (PNPM) yang masih belum terasa manfaatnya. Indikasi ini paling tidak tergambar dari belum adanya data mengenai jumlah kelompok swadaya masyarakat (KSM) yang sudah mandiri dari bantuan permodalan seperti KUR (P2KP: 2010). Kenyataan ini mengindikasikan program penyaluran KUR bisa jadi tidak jatuh kepada pihak yangtepat. Meskipun demikian, paling tidak pada masa pemerintahan SBY (hingga 2010), tercatat jumlah koperasi telah mencapai 170.411 unit dengan anggota sebanyak 29,240 juta jiwa, volume usaha Rp. 82,1 triliun, serta modal usaha sendiri mencapai Rp. 14,78 triliun. Di samping itu, realisasi penyaluran KUR hingga akhir 2010 telah mencapai Rp. 14,78 triliun, melebihi target sebesar Rp. 13,115 triliun dari yang dianggarkan (kabarbisnis.com: 2010).
Pendekatan politik merupakan sesuatu yang penting dalam upaya membangun sistem ekonomi karena ekonomi politik merupakan instrumen atau alat bagi pengusaha atau pemerintah untuk dapat mengatur kehidupan sosial atau sistem ekonomi (Didik J. Rachbini: 2002). Pada masa pemerintahan B. J. Habibie, sesungguhnya ekonomi politik secara konkret telah menggunakan instrumen kekuasaannya untuk merealisasikan konsep ekonomi kerakyatan melalui koperasi dan UMKM sebagai ujung tombak. Political will Habibie lebih berorentasi pada sistem ekonomi kerakyatan dalam strategi pembangunan yang menyintesiskan ekonomi makro maupun mikro, yang mampu mengimplementasikan jawaban berbagai permasalahan yang tengah dihadapi sebagian besar rakyat dalam bentuk kurangnya kesempatan kerja, rendahnya tingkat produksi, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan.
Berdasarkan pendekatan persaingan komparatif, jika UMKM secara serius didorong dan difasilitasi, sesungguhnya UMKM masih sangat mungkin dapat berkembang lebih baik lagi di masa-masa mendatang. Beberapa faktor pendorong perkembangan UMKM di antaranya adalah :
Penguatan permodalan. Bantuan penguatan modal ini dapat dilakukan dengan cara pemberian bantuan modal bergulir dari pemerintah melalui koperasi, terutama untuk program usaha berskala mikro dan kecil dalam bentuk inkubator dan cluster. Bantuan penguatan modal bagi usaha menengah dapat dilakukan dengan memberikan kemudahan pinjaman modal usaha dari lembaga keuangan dan megupayakan pasar baru dalam bentuk ekspor ke pasar global.
Penguatan kelembagaan. Program ini dapat dilakukan dengan komitmen dari lembaga eksekutif dan legislatif untuk merevitalisasi UMKM (terutama melalui penguatan pasar dan permodalan) dalam bentuk kemitraan dan penguatan lembaga keuangan mikro sebagai mitra UMKM.
Penguatan kapasitas usaha. Program ini dapat dilakukan dengan cara pelatihan manajemen usaha, pelatihan ketrampilan, serta memfasilitasi acara temu usaha dan pengalokasian dana dari pemerintah untuk pelatihan dan peralatan kerja, terutama mesin.
Penguatan aspek pemasaran. Program ini dapat dilakukan dengan cara menjalin kerja sama dengan luar negeri, membentuk sentra usaha kecil dan memfasilitasi promosi usaha dalam bentuk ajang pamer produk daerah, dan sebagainya.
Kemauan politik, baik eksekutif maupun legislatif, hendaknya secara riil mempunyai keinginan yang kuat untuk mengembangkan peran UMKM ke deoannya, bukan tidak mungkin jika UMKM dengan wadah koperasi lah yang akan menjadi kekuatan perekonomian Indonesia.

Koperasi dan UMKM sebagai Basis Kekuatan Ekonomi Rakyat
Dengan tidak bermaksud mengabaikan sektor BUMN dan swasta besar, sesungguhnya UMKM merupakan sektor yang cukup penting dalam memerankan berbagai kepentingan ekonomi secara riil dalam pembangunan nasional, terutama bagi penciptaan usaha dan lapangan pekerjaan baru. Dengan realitas seperti ini, maka memajukan UMKM dan menjadikan sebagai basis ekonomi rakyat akan memiliki dampak langsung bagi terciptanya stabilitas dan kemandirian ekonomi. Selain itu, UMKM dapat pula memperkuat fundamental ekonomi karena sebagaian besar aktivitas ekonomi rakyat di tanah air lebih banyak diperankan dalam unit-unit ekonomi dalam skala UMKM di hampir semua sektor. Di samping itu, alasan lain yang tidak kalah penting adalah usaha yang diawali dari usaha berskala UMKM umumnya lebih tahan banting dibandingkan dengan usaha yang dibuat langsung pada skala besar, termasuk dalam hal ini BUMN.

Dodol Garut Picnic
Perusahaan Dodol Garut Picnic, PT. Herlinah Cipta Pratama, merupakan salah satu dari puluhan industri dodol Garut yang ada di Kabupaten Garut saat ini. Selama lebih dari enam dasawisma lamanya, sejak dirintis pada tahun 1949 silam, perusahaan Dodol Picnic telah menjadi bagian dari sejarah dan dinamika perkembangan dunia usaha makanan daerah dengan cita rasa khas yang saat ini telah menjadi salah satu ikon kota Garut. Perusahaan yang didirikan H. Iton Damiri merintis pembuatan usaha dodol Garut. Pada waktu itu, perusahaan masih berskala rumah tangga dengan jumlah tenaga kerja sebanyak  5 orang dan daerah pemasarannya terbatas di sekitar kota Garut saja. Dari tahun ke tahun, perkembangan pemasaran semakin meningkat. Dengan perkembangan usaha yang semakin pesat, akhirnya regenerasi kepemimpinan beralih kepada H. Ato Hermanto selaku direktur perusahaan. Perusahaan saat ini sudah mampu menyerap 230 tenaga kerja dengan berbagai cakupan pemasaran meliputi seluruh wilayah kota besar di Indonesia.
Dalam kurun waktu 57 tahun bergerak di bidang industri, banyak prestasi dan penghargaan yang pernah diraih oleh PT. Herlinah Cipta Pratama, di antaranya: Penghargaan Upakarti tahun 1990, Penghargaan Siddhakarya di bidang produktivitas tahun 1995, Penghargaan Paramakrya di bidang produktivitas tahun 1996, Penghargaan Indonesia Development Citra Award 1998-1999, dan Asian Best Economic Executive Award tahun 2004. Dengan berbagai prestasi yang diraih dan kiprah yang dilaksanakan serta manajemen yang profesional, PT. Herlinah Cipta Pratama akan terus maju, berkembang dan berkelanjutan. Saat ini Dodol Picnic Garut sudah memperkenalkan dodol beraneka rasa (Hermanto, 2016).

Kopi Kapal Api
Kopi Kapal Api diawali dari usaha berskala UMKM. Industri rumahan di Surabaya ini telah pula menginpirasi berbagai usaha mikro lainnya untuk membuat warung kopi. Bisnis keluarga yang dimotori Go Soe Loet pada tahun 1927 mulai memproduksi kopi dengan merek Kapal Api yang menajdi simbol teknologi tinggi dan kemewahan pada zamannya. Lebih dari itu, inspirasi untuk senantiasa mengacu pada kualitas menjadikan perusahaan mengalami kemajuan yang pesat dan berkelanjutan pada masa-masa berikutnya.
Keunggulan kopi Kapal Api adalah pada kualitasnya. Sampai saat kini, produk Kapal Api merupakan yang terbesar di Indonesia. Di Pulau Jawa, misalnya, “raja” kapal api itu menguasai sekitar 65 persen pasar. Sementara secara nasional, perusahaan menguasai 50 persen pasar. Perusahaan juga memiliki banyak produk, misalnya merek Kapal Api, ABC, Expresso Candy, Good Day, Bontea Green, dan Relaxa (Soedomo, 2016).

Bakso Sehat Atom
Sensitivitas terhadap isu lemak babi yang telah ada sejak awal usaha Bakso Sehat Bakso Atom (BSBA) dibuka, diperhatikan secara serius oleh B.R. Prabowo, penggagas sekaligus pemilik BSBA. Prabowo memang tidak main-main dengan kata “sehat” di jualan baksonya. Bisa di bilang BSBA merupakan satu-satunya bakso di Indonesia yang sudah diuji di Laboratorium Kesmovet, Dinas Kelautan dan Pertanian, DKI Jakarta. Kunci keberhasilan usaha bakso, menurut Prabowo, tidak semata-mata karena produknya. Tapi cara pengelolaan pun berpengaruh terhadap kesuksesan.
Dalam tempo 3 tahun, outletnya bertambah menjadi 10 dengan 100 orang karyawan. Sang istri, Istu, melihat usaha ini harus digarap dengan serius, tidak bisa dibuat bisnis sampingan lagi. Karena itu, ia merelakan ketika suaminya melepas jabatan sebagai Vice President Lippo Bank di tahun 2012 dengan menanggalkan profesinya sebagai pegawai negeri di BSN. Keputusan yang diambil Prabowo dan istrinya ternyata tepat. Setelah dikelola secara full time oleh mereka berdua, usaha bakso berkembang makin pesat. Bahkan dari hasil penjualan bakso, mereka sudah bisa membeli lahan seluas 4.000 m2 di Ciputat, Tangerang. Di tempat ini pula mereka membangun gerai penjualan batik dari berbagai daerah dengan nama Batik Saya Batik Asli. Prabowo juga bisa menyekolahkan kedua anak mereka, dari hasil jualan bakso, ke Australia (Prabowo, 2016).

Restoran Sederhana
Restoran Sederhana mengawali bisnisnya hanya dengan modal sekitar               Rp. 30.000,-. Haji Bustaman, adalah sosok di balik kesuksesan Restoran Sederhana. Tahun 1970 berbekal uang Rp. 32.000,- beliau hijrah ke Jakarta. Di awali dengan membuka warung nasi di pasar Benhil pada tahun 1972, kini Bustaman sudah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia hingga Malaysia, baik atas nama sendiri maupun investor melalui sistem franchise. Ada cerita unik di balik nama “Rumah Makan Padang Sederhana” yang menjadi merek dagang Bustaman. Sekarang ini, banyak sekali rumah makan padang yang mengatasnamakan Sederhana. Rumah Makan Padang Sederhana milik Bustaman adalah yang memiliki logo rumah Gadang dengan tulisan SA. Kini warung nasi itu telah berkembang hampir di seluruh Nusantara yang dikenal dengan nama Restoran Sederhana. Pada tahun 2000, Haji Bustaman mendapatkan hal paten yang didaftarkan pada Dirjen HAKI atas logo “SA” dan nama “SEDERHANA” pada tahun 2013, PT. Sederhana Abadanmitra didirikan untuk mengelola cabang-cabang Restoran Sederhana (Wika Raharja, 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar