Minggu, 15 Desember 2019

Konsep UMKM

BAB 9
KONSEP UMKM

Rumusan terhadap definisi UMKM berbeda antara satu negara dengan negara lainnya dan berbeda pula definisi yang dibuat oleh berbagai lembaga dunia. Tidak ada suatu kesepakatan terhadap definisi UMKM. Umumnya, UMKM didefinisikan berdasarkan kriteria dan ciri yang dapat berupa jumlah tenaga kerja yang dipergunakan, jumlah kapital dan omzet dari kegiatan yang dihasilkan, serta dapat pula didefinisikan berdasarkan karakteristik UMKM, seperti skala usaha, teknologi yang digunakan, organisasi dan manajemen, orientasi pasar, dan lain sebagainya.
Di Indonesia sendiri, sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, terdapat berbagai rumusan definisi yang dibuat oleh berbagai instansi dan menjadi acuan, di antaranya adalah definisi yang dirumuskan Bank Indonesia, Biro Pusat Statistik, Kementerian Koperasi dan UKM, dan berbagai definisi lainnya yang masing-masing merumuskan definisi berdasarkan kepentingan instansi masing-masing. Umumnya, definisi yang dibuat oleh instansi-instansi tersebut lebih kepada kriteria kuantitatif yang diukur berdasarkan jumlah omzet dan kepemilikan aset.
Menurut UU Nomor 9 Tahun 1995, usaha kecil didefinisikan sebagai:
a.     Usaha produktif milik warga negara Indonesia yang berbentuk badan usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha berbadan hukum, termasuk koperasi.
b.     Anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi, baik langsung maupun tidak langsung, dengan usaha menengah atau besar tidak termasuk dalam kategori usaha kecil.
c.      Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan paling banyak Rp 100 juta per tahun.
Inpres Nomor 10 Tahun I999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah mendefinisikan usaha menengah sebagai usaha produktif milik warga negara Indonesia yang berbentuk badan usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha berbadan hukum, termasuk koperasi; berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi, baik langsung maupun tidak langsung, dengan usaha besar; dan memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200 juta sampai dengan Rp. 10 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan paling banyak Rp 100 juta per tahun.
Biro Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah secara bersama-sama mendefinisikan UMKM dan mengelompokkannya menjadi dua kelompok usaha, yaitu usaha kecil, yaitu usaha yang memiliki omzet kurang dari Rp 1 miliar per tahun; usaha menengah adalah usaha yang memiliki batas maksimal omzet antara Rp 1-50 miliar per tahun.
Kementerian Perindustrian menetapkan industri kecil dan menengah sebagai industri yang memiliki nilai investasi sampai dengan Rp 5 miliar. Sementara itu, usaha kecil di bidang perdagangan dan industri dikategorikan sebagai usaha yang memiliki aset tetap kurang dari Rp 200 juta dan omzet per tahun kurang dari Rp 1 miliar.
Bank Indonesia mendefinisikan usaha kecil sebagai usaha yang memiliki nilai aset tetap (di luar tanah dan bangunan) paling besar Rp 200 juta dengan omzet per tahun maksimal Rp 1 miliar. Usaha menengah memiliki kriteria aset tetap dengan besaran yang dibedakan antara industri manufaktur (Rp 200 juta sampai dengan Rp 5 miliar) dan non-manufaktur (Rp 200 juta sampai dengan Rp 600 juta).
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/I99M tanggal 27 Juni 1994, usaha kecil didefinisikan sebagai usaha perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan/usaha yang mempunyai penjualan/omzet per tahun setinggi-tingginya Rp 600.000.000,- atau aset/aktiva setinggi-tingginya Rp 600.000.000,- (di luar tanah dan bangunan yang ditempati). Usaha kecil terdiri dari: (1) badan usaha (Fa, CV, PT, dan koperasi) dan (2) perorangan (misalnya pengrajin/industri rumah tangga, petani, peternak, nelayan, perambah hutan, penambang, pedagang barang dan jasa, dll.).
Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, definisi UMKM berubah menjadi:
1.     Usaha mikro adalah usaha produktif milik perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro.
2.     Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar.
3.     Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam UU.
Secara garis besar, terdapat lima undang-undang ataupun peraturan yang membahas UMKM di Indonesia. Kelima undang-undang ataupun peraturan tersebut adalah:
1.     UU Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
2.     Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan
3.     Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil
4.    Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah
5.     Keputusan Presiden Nomor 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha yang dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha yang Terbuka untuk Usaha Menengah atau Besar dengan Syarat Kemitraan
6.     Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah
7.     Peraturan Menteri Negara BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan
8.     UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Terlihat bahwa pemerintah mengalami kesulitan mendefinisikan UMKM yang benar-benar mewakili kondisi UMKM Indonesia yang juga dapat dijadikan pedoman untuk membentuk kebijakan terkait pemberdayaan UMKM.

Kriteria UMKM
Kriteria UMKM dapat dikelompokkan berdasarkan jumlah aset dan omzet yang dimiliki masing-masing badan usaha sebagaimana rumusan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM, sedangkan pengelompokan berdasarkan jumlah karyawan yang terlibat dalam sebuah usaha tidak dirumuskan dalam undang-undang tersebut Kriteria UMKM yang ditentukan berdasarkan aset dan omzet yang dimiliki dapat dilihat pada Tabel 4.1.
TABEL 4.1
Kriteria UMKM Berdasarkan Aset dan Omzet
No
URAIAN
ASET
OMZET
1
Usaha Mikro
Maksimum Rp 50 juta
Maksimum Rp 500 juta
2
Usaha Kecil
>Rp 50juta - 500jt
> Rp 300 juta - 2,5 miliar
3
Usaha Menengah
> Rp 500 jt - < 1 milyar
> Rp 2,5 miliar - 50 miliar
Sumber: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008
Sementara itu, BPS merumuskan kriteria UMKM berdasarkan jumlah tenaga kerja seperti yang terlihat pada Tabel 4.2.
TABEL 4.2
Kriteria UMKM Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja
No
Kelompok UMKM
Jumlah Tenaga Kerja
1
Usaha Mikro
Kurang dari 4 orang
2
Usaha Kecil
5 sampai dengan 19 orang
3
Usaha Menengah
20 sampai dengan 99 orang
Sumber: Biro Pusat Statistik (BPS)
Dalam dimensi lain, Musa Hubeis (2009) mengelompokkan dua pemahaman mengenai UMKM yang dijelaskannya sebagai berikut:
1.     Ukuran dari usaha atau jenis kewirausahaan/tahap pengembangan usaha.
UMKM diklasifikasikan atas dasar (1) self employment perorangan, (2) self employment kelompok, dan (3) industri rumah tangga yang berdasarkan jumlah tenaga kerja dan modal usaha. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tahap perkembangan usaha UMKM dapat dilihat dari aspek pertumbuhan menurut pendekatan efisiensi dan produktivitas, yaitu (1) tingkat survival menurut ukurannya (self employment perorangan hingga industri rumah tangga); (2) tingkat konsolidasi menurut penggunaan teknologi tradisional yang diikuti dengan kemampuan mengadopsi teknologi modern; serta (3) tingkat akumulasi menurut penggunaan teknologi modern yang diikuti dengan keterkaitannya dengan struktur ekonomi maupun industri.
2.     Tingkat penggunaan teknologi.
Dalam hal ini, UMKM terdiri atas UMKM yang menggunakan teknologi tradisional (yang nantinya akan meningkat menjadi teknologi modern) dan usaha UMKM yang menggunakan teknologi modern dengan kecenderungan semakin menguatnya keterkaitan dengan struktur ekonomi, secara umum, dan struktur industri, secara khusus.

Kemiskinan sebagai Alasan Perlunya Memberdayakan UMKM
Berdasarkan data yang dirilis BPS, kemiskinan di Indonesia pada akhir tahun 2012 masih berkisar pada angka 28,59 juta jiwa atau sekitar 11,66% dari total penduduk Indonesia yang mencapai 235 juta jiwa. Namun, jika menggunakan data versi bank Dunia, angka kemiskinan Indonesia berkisar di angka 100 juta.
Perbedaan metodologi yang diaplikasikan oleh BPS melalui pendekatan konsumsi sangat berbeda dengan metodologi yang diterapkan Bank Dunia. Bank Dunia menetapkan US$ 2 sebagai ukuran kemiskinan, sementara BPS mematok konsumsi harian US$ 1 sebagai ukuran kemiskinan atau sekitar Rp 420.000,- per orang per bulan. Angka US$ 1 yang ditetapkan BPS merupakan sebuah ironi karena dapat dipastikan angka tersebut jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang merupakan kebutuhan primer manusia. Dengan tingkat konsumsi yang demikian rendah, kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan-kebutuhan lain pun akan sangat sulit untuk dipenuhi.
Terlepas dari nominal angka kemiskinan di Indonesia, sudah menjadi kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia yang berkecukupan untuk turut serta mengentaskan kemiskinan. Pemerintah dan kelompok usaha besar (termasuk BUMN) dapat mengadakan program CSR atau PKBL, sementara masyarakat dapat berpartisipasi dalam program zakat. Pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan menguatkan UMKM. Penguatan UMKM dapat dilakukan melalui pemberdayaan usaha mikro karena usaha mikro umumnya dilakukan oleh masyarakat kecil.
Berdasarkan data yang dirilis TKPK, dari 31,02 juta penduduk miskin di Indonesia, sebanyak 63,68% tinggal di pedesaan dan sisanya (36,32%) tinggal di perkotaan. Untuk lebih jelas, mari kita simak Tabel 4.5 tentang jumlah penduduk miskin yang tinggal di perkotaan dan pedesaan.
TABEL 4.5
Jumlah Penduduk Miskin Perkotaan dan Pedesaan Tahun 2011
Jumlah masyarakat miskin
Perkotaan
Pedesaan
Total
11.100.000
19.930.000
31.020.000
Persentase masyarakat miskin
35,77
64,23
14,15
Rasio kesenjangan kemiskinan
1,91
3,05
2,50
Indeks tingkat keparahan kemiskinan
0,52
0,82
0,68
Sumber : BPS 2011

Kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memperoleh standar hidup minimal (World Bank, 1990). Kemiskinan dapat juga didefinisikan sebagai minimnya pendapatan dan harta, kelemahan fisik, isolasi, kerapuhan, dan ketidakberdayaan (Robert Chambers, 1997). Kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor, terutama faktor sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, teknologi, ekologi, dan sebagainya. Umumnya, kemiskinan dapat diklasifikasikan menjadi kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural.
Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang diakibatkan oleh kebijakan dan struktur ekonomi yang tidak memungkinkan masyarakat luas mengakses berbagai sumber ekonomi. Sistem yang berlaku hanya memungkinkan individu dan kelompok tertentu saja yang mampu mengakses sumber-sumber ekonomi, sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan tersingkir dan kalah dalam persaingan (kapitalis). Kemiskinan struktural juga dapat terjadi karena sistem yang berlaku sangat sentralistik sehingga hanya sekelompok orang saja yang mampu mengakses sumber-sumber ekonomi (merkantalisme dan sosialisme). Keadaan kepemilikan sumber daya yang tidak merata menyebabkan tidak meratanya pendapatan di masyarakat. Dengan kata lain, kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang diakibatkan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada kelompok miskin itu sendiri.
Kemiskinan struktural juga dapat terjadi karena ketimpangan struktur perekonomian, dimana faktor-faktor produksi dikuasai oleh segelintir orang dengan bentuk pasar monopoli dan oligopoli, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) juga terjadi di kalangan pengusaha dan penguasa. Salah satu bentuk kemiskinan struktural adalah program bantuan langsung tunai (BIT) yang seolah-olah membantu masyarakat, tetapi program tersebut kenyataannya tidak lebih dari sebuah bentuk pembodohan secara struktural yang berdampak pada kemiskinan kultural.
Jika kemiskinan struktural lebih merupakan situasi yang dibentuk oleh kebijakan dan sistem ekonomi sebuah negara, kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor budaya yang menyebabkan terjadinya proses pelestarian kemiskinan di dalam masyarakat (Revrison Baswir, 1999). Kemiskinan kultural mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup, dan budaya masyarakat. Mereka sudah merasa cukup dengan sumber daya yang ada dan tidak merasa kekurangan akan sesuatu.
Kelompok masyarakat yang kemiskinannya diakibatkan oleh faktor kultural lebih sulit untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan. Mereka tidak tergerak untuk memperbaiki tingkat kehidupan sehingga pendapatan mereka tetap rendah menurut ukuran masyarakat pada umumnya. Dengan ukuran absolut, misalnya tingkat pendapatan minimum, mereka dapat dikatakan miskin, tetapi mereka tidak merasa miskin dan tidak mau disebut miskin. Salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan adalah dengan membangun kepedulian masyarakat dengan mengikutsertakan mereka dalam pembangunan. Hal ini dapat dilakukan melalui program CSR, PKBL, dan zakatyang diperuntukkan bagi penguatan ekonomi, bukan konsumsi. Penguatan ini tidak dapat dilakukan secara sporadis, tetapi harus dilakukan secara gradual dan terus-menerus. Pemberantasan kemiskinan tidak hanya dilakukan dengan memberikan nasi bungkus atau sekarung beras. Pengentasan kemiskinan harus dilakukan secara sistematis sebagaimana amanat konstitusi yang menjadikan ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi Indonesia.

UU Nomor 20 Tahun 2008 Belum Mampu Menjawab Persoalan UMKM
Dalam berbagai forum, UMKM sepertinya menjadi identitas bisnis yang semu: ada, tetapi tidak jelas keberadaannya. Semakin sering UMKM dibicarakan, semakin samar perlakuan-perlakuan UMKM untuk dapat dikembangkan, terutama dalam memperoleh berbagai kesempatan dalam memiliki sumber-sumber ekonomi. Hal tersebut merupakan suatu hal yang sangat disayangkan karena seperti yang sudah dibahas pada bagian sebelumnya, kontribusi UMKM tidak dapat diabaikan dalam memainkan berbagai peran dalam perekonomian, baik secara mikro maupun makro.
Undang-undang UMKM yang telah disahkan DPR pada 10 Juni 2008 lalu ternyata tidak, mampu menjawab berbagai persoalan yang membelit UMKM. Bahkan, terdapat indikasi bahwa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 diarahkan kepada penguatan kapitalisasi ekonomi yang cenderung mengancam UMKM. Setidaknya terdapat delapan poin penting tentang berbagai persoalan UMKM yang belum mampu dijawab oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008.
1.     Definisi dan karakteristik UMKM yang dirumuskan semata-mata berdasarkan pendekatan kapital. Hal ini mengindikasikan adanya gerakan kapitalisasi badan-badan usaha yang dimiliki masyarakat, khususnya UMKM. Rumusan tersebut seharusnya dapat diperluas, misalnya berdasarkan jumlah tenaga kerja, karakteristik SDM-nya, penggunaan sumber daya lokal, penggunaan teknologi, serta ciri-ciri keindonesiaan.
2.     Tumpang-tindihnya program pemberdayaan UMKM disebabkan oleh banyaknya instansi pemerintahan yang mengurus UMKM. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tidak menyebutkan secara spesifik instansi pemerintahan mana yang bertanggung jawab terhadap UMKM. Berdasarkan pengalaman masa lalu, tidak sedikit program pemberdayaan dan pengembangan UMKM yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dan bahkan gagal total dalam pelaksanaannya. Salah satu faktor penyebab kegagalan ini juga disebabkan oleh tidak sinkronnya model pemberdayaan yang dimiliki berbagai instansi pemerintah pusat, termasuk pemerintah daerah, kabupaten/kota, maupun provinsi. Bahkan, program yang dilakukan pemerintah pusat sering kali tidak melibatkan pemerintah daerah sehingga tidak jarong pemerintah daerah lepas tangan ketika menghadapi berbagai persoalan UMKM karena mereka merasa tidak dilibatkan sejak awal dalam perencanaan dan pelaksanaan.
3.     Pasal terkait tata cara UMKM agar dapat memperoleh pendanaan dari sumber pendanaan usaha tidak menuntun UMKM kepada kemandirian.
4.     Masalah lainnya yang belum terjawab adalah ketidakjelasan bentuk dan besaran jaminan pemerintah terhadap UMKM terkait masalah agunan. Dalam undang-undang ini, hanya disebutkan secara normatif bahwa pemerintah akan membantu pendanaan serta memperbanyak lembaga pembiayaan serta jaringannya agar UMKM dapat mengaksesnya dengan lebih mudah. Masalah agunan juga tidak dijelaskan, padahal selama ini, salah satu hal yang menjadi persoalan utama bagi UMKM adalah UMKM tidak memiliki agunan.
5.     Pasal 29 pada UU ini memberikan kesempatan kepada usaha besar untuk memperluas usahanya dengan cara waralaba, tetapi mereka terlebih dahulu harus memberikan kesempatan dan mendahulukan UMKM yang memiliki kemampuan. Sebagaimana diketahui, sebagian besar UMKM justru tidak memiliki kemampuan, khususnya dalam pembiayaan untuk mengembangkan usaha, seperti membuat minimarket dan supermarket Pasal ini berdampak kepada dominasi usaha-usaha besar dalam ekspansi pasar sehingga usaha besar mendirikan usaha-usahanya dengan mendirikan minimarket dan supermarket hampir di setiap daerah dan bahkan pelosok. Hal tersebut tentunya akan mematikan UMKM. Bahkan, tidak jarang supermarket didirikan berdekatan dengan pasar tradisional dan bahkan minimarket didirikan di tengah maupun di dalam pasar tradisional.
6.     Pasal 21 Ayat 2 menyebutkan BUMN dapat menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada UMKM dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya. Seharusnya, pasal ini menyebutkan BUMN wajib menyisihkan beberapa persen keuntungannya untuk pembangunan UMKM sebagai wujud kepedulian mereka terhadap UMKM dan juga sebagai bagian dari demokrasi ekonomi. Kewajiban BUMN dalam menyisihkan sebagian dari labanya ini lebih dikarenakan BUMN adalah perusahaan yang dimiliki negara yang kepemilikan modalnya juga berasal dari negara. Jadi, sangat wajar jika BUMN diberi kewajiban ikut serta secara langsung dalam mengembangkan UMKM.
7.     Dalam undang-undang ini, masalah penerapan sanksi semata-mata ditujukan hanya dalam masalah kemitraan, terutama menyangkut larangan penguasaan usaha mikro/kecil oleh usaha menengah dan besar, seperti yang tercantum dalam Pasal 35. Seharusnya, sanksi juga harus diterapkan pada pasal-pasal lainnya, terutama pada pasal yang menyangkut pembiayaan dan jaminan.
8.     Tidak kalah penting, apakah usaha asing yang berskala UMKM termasuk ke dalam kriteria UU ini? Ketegasan ini penting sebab bukan tidak mungkin suatu saat akan banyak usaha asing (yang mungkin) berskala menengah yang akan beroperasi di Indonesia. Jika tidak dipertegas, konsekuensinya adalah perusahaan asing berskala UMKM termasuk sebagai UMKM yang diakomodasi dalam UU ini. Akibatnya, UMKM asing pun akan diperlakukan sama dengan UMKM nasional.
Berbagai persoalan yang masih belum mampu dijawab oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 sesungguhnya merupakan pengingkaran terhadap konstitusi republik ini. Khususnya terhadap Pasal 33 UUD 1945 dan TAP MPR Nomor XVI Tahun 1998 yang secara tegas memberikan perlindungan terhadap UMKM sebagai salah satu badan usaha di luar BUMN dan usaha besar dalam bingkai sistem ekonomi kerakyatan. Pembentukan suatu kesadaran nasional bahwa pemberdayaan UMKM merupakan cara utama bagi membangkitkan perekonomian nasional. Hal tersebut senada dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, terutama Pasal 3, yang menyatakan bahwa tujuan UMKM adalah menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan.
Di lain pihak, lingkungan ekonomi kita juga perlu memerhatikan persaingan global. Pada tahun 2010, pasar nasional Indonesia dibanjiri oleh berbagai produk asing. Tidak kurang dari 7.000 produk Tiongkok membanjiri Indonesia. Belum lagi, barang murah dari India. Kita tidak lagi mempunyai kekuatan untuk memproteksi produk dalam negeri di era globalisesi.
Kecemasan kita dalam menghadapi persaingan global memang beralasan apabila dilihat dari ketidaksiapan UMKM sebagai pertahanan sosial dan ekonomi, terutama pada aspek yang menyangkut aspek modal, manajemen, teknologi, keahlian, kemampuan mengakses pasar, dan kewiraswastaan. Berkaitan dengan ketersediaan tenaga wiraswasta, suatu negara baru dapat memacu pertumbuhan ekonomi apabila mempunyai jumlah wiraswasta minimal 2% dari jumlah penduduk. Saat ini, wiraswasta Indonesia baru tersedia 0, l%, masih sangat rendah jika dibandingkan dengan Singapura (7,2%) dan AS (2,14%). Mengapa wiraswasta penting bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara? Wiraswasta penting karena mereka melakukan integrasi berbagai sumber daya menjadi produkyang dibutuhkan konsumen. Selain itu, berbagai peraturan yang dibuat pemerintah daerah tidak jarang justru menghambat tumbuh kembang UMKM, seperti kewajiban retribusi, penggusuran PKL tanpa solusi yang jelas, penggusuran lahan produktif rakyat yang diperuntukkan bagi pendirian pasar-pasar modern, dan sebagainya. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah memperkirakan terdapat lebih dari 100 Perda yang menghambat perkembangan UMKM (Sinar Indonesia, Riau, 2008).

B A B 10
BERBAGAI MASALAH DALAM UMKM

Terdapat banyak masalah dalam upaya mengembangkan UMKM, terutama m enyangkut manajemen, produksi dan pemasaran, serta pembiayaan. Berbagai persoalan tersebut muncul akibat sulitnya UMKM dalam mengakses berbagai sumber-sumber ekonomi, di samping tidak banyak kelompok masyarakat yang memiliki komitmen bagi pengembangan UMKM termasuk dalam hal ini adalah mengonsumsi produk yang dihasilkan UMKM. Di samping itu, meskipun pemerintah memberikan perhatian terhadap UMKM, tetapi perhatian tersebut tidak sebanding dengan perhatian yang diberikan terhadap perusahaan swasta besar dan BUMN. Berikut dijelaskan beberapa permasalahan yang biasa ditemukan di dalam UMKM.

Manajemen
Umumnya, kegiatan UMKM (khususnya usaha mikro dan kecil) tidak membedakan berbagai persoalan yng ada di dalam perusahaan dengan berbagai persoalan pribadi, terutama menyangkut kepemilikan, pembiayaan, dan keuntungan perusahaan. Keduanya sering kali tercampur sehingga berbagai fungsi manajemen dalam menjalankan perusahaan tidak dilakukan sebagaimana mestinya, baik menyangkut perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakkan (activating), maupun pengawasan (controling). Dengan kondisi demikian, maka dapat dipastikan bahwa kegiatan usaha tidak berjalan seperti seharusnya.
Manajemen berfungsi memandu berbagai sumber ekonomi yang dimiliki agar dengan sumber daya yang terbatas, tujuan perusahaan dapat dicapai. Dalam konteks ini, di sinilah perbedaan mendasar antara pengusaha dan pekerja terletak. Pengusaha bekerja berdasarkan sistem yang dibangun dan menjalankan sistem yang dibuat. Pekerjaan yang dijalankan dievaluasi secara terus-menerus guna mengetahui apakah yang dikerjakan sesuai dengan yang direncanakan atau keluar dari garis yang telah ditentukan.
Manajemen merupakan suatu keharusan bagi setiap perusahaan, termasuk UMKM. Dengan manajemen, berbagai kekuatan yang dimiliki mampu dioptimalkan, berbagai kelemahan dan ancaman dapat diminimalisasi, dan pengusaha dapat menangkap kesempatan serta peluang yang ada guna mengembangkan kegiatan perusahaan.
Mengingat manajemen merupakan hal yang penting untuk dilakukan dalam kegiatan bisnis, maka UMKM sejatinya juga melakukan hal yang sama dengan berbagai usaha lainnya. Manajemen diperlukan agar segala sesuatu terukur dengan baik, baik hal-hal yang menyangkut produksi, pemasaran, personalia, keuangan, maupun fungsi-fungsi bisnis lainnya. Kelemahan utama UMKM selama ini disebabkan oleh tidak digunakannya prinsip-prinsip bisnis modern dalam kegiatan bisnisnya. Segala sesuatu dikerjakan secara tradisional. Kondisi ini dapat dipahami karena kebanyakan UMKM, khususnya usaha mikro (seperti pada livelihood activities, dan micro enterprise), menjalankan usahanya karena terdesak berbagai tuntutan hidup. Mereka berbisnis bukan karena betul-betul ingin menjadi seorang wirausaha sejati sebagaimana small dynamic enterprises dan fast moving enterprises.

Produksi dan Pemasaran
Selain ketidakmampuan dalam mengelola perusahaan (kemampuan manajemen yang rendah), persoalan yang sering menghambat UMKM untuk berkembang adalah keterbatasan fungsi-fungsi perusahaan, terutama dalam produksi dan pemasaran. Umumnya, permasalahan yang dihadapi UMKM menyangkut produksi dan pemasaran adalah:
1.     Tidak adanya akses terhadap sumber bahan baku yang berkualitas secara terus-menerus. Terkadang, UMKM menggunakan bahan baku yang berkualitas, tetapi tidak jarang pula mereka menggunakan bahan baku yang tidak memenuhi standar produksi.
2.     Proses produksi yang sederhana dan tidak memenuhi standar berdampak kepada mutu yang rendah, misalnya proses produksi roti dengan menggunakan adukan tangan (bukan mesin) berdampak kepada produk yang tidak higienis sehingga produk tidak tahan lama.
3.     Kurangnya perhatian kepada nilai yang mampu memberikan rasa puas bagi pelanggan. Misalnya cita rasa, ukuran yang tidak biasa, warna yang tidak menarik, tidak memiliki merek, dan sebagainya.
4.     Terbatasnya kemampuan untuk melakukan promosi sehingga produk tidak dikenal di pasar. Hal ini berdampak kepada rendahnya kemampuan UMKM dalam berkompetisi di pasar. Konsumen yang sudah tertarik dengan produk UMKM akhirnya pindah ke produk lain yang mampu memenuhi kebutuhan dan harapan mereka.
5.     Kecenderungan menguasai pasar yang terbatas sebagai akibat dari lemahnya kemampuan untuk berkompetisi dengan perusahaan besar yang memiliki sistem produksi dan distribusi yang lebih baik.
6.     UMKM kurang mampu membaca peluang pasar karena adanya kecenderungan konsumen mengetahui info yang lebih lengkap tentang produk dan perusahaan. Dengan kondisi ini, tidak jarang produk yang ditawarkan tidak sesuai dengan keinginan dan harapan konsumen di pasar.
7.     Stabilitas dan kontinuitas produk untuk pemenuhan permintaan pasar kurang terjaga sehingga ketika konsumen membutuhkan produk, produk tidak tersedia di pasar.
Dengan berbagai keterbatasan yang dihadapi UMKM, dapat dipastikan akan sulit bagi UMKM untuk mampu berkembang dan bertahan hidup. Dengan kondisi demikian, UMKM, khususnya usaha mikro dan kecil, sering kali berganti-ganti usaha karena usaha yang sudah dilakukan dianggap tidak lagi mampu bertahan.

Keuangan
Persoalan dalam fungsi perusahaan selain produksi dan pemasaran adalah keuangan. Persoalan yang paling sering dihadapi UMKM menyangkut keuangan di antaranya:
1.    Kurangnya modal kerja untuk menunjang aktivitas perusahaan, terutama untuk meningkatkan volume produksi dan biaya pemasaran.
2.    Tidak memiliki pengetahuan tentang cara-cara mengakses sumber-sumber keuangan (terutama KUR yang disalurkan perbankan, sementara Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) tidak terdapat di wilayah kerja mereka. Di samping itu, perbankan umumnya tidak bersedia menambah pemberian pinjaman dalam jumlah yang kecil karena tidak adanya aset yang dapat dijadikan jaminan untuk pinjaman ke perbankan.
3.     Umumnya, UMKM tidak memiliki catatan (laporan) keuangan sehingga keuntungan dalam usaha sering kali tidak diperhitungkan. Jika usaha sedang untung, keuntungan tersebut sering kali habis terkonsumsi, bahkan tidak jarang pendapatan yang diperoleh semuanya dianggap sebagai keuntungan, padahal di antara keuntungan yang dimaksud terdapat modal yang terpakai untuk konsumsi. Jika ini terjadi, kegiatan perusahaan akan terganggu dan tidak jarang, volume kegiatan usaha akhirnya berkurang atau menurun yang nantinya dapat berdampak pada terhentinya kegiatan perusahaan.
Solusi dari berbagai persoalan yang dihadapi UMKM adalah dengan membentuk wadah kerja sama di dalam profesi yang sama, yaitu koperasi (khususnya bagi usaha mikro dan kecil). Dengan dibentuknya koperasi, diharapkan terjadi kerja sama antarpengusaha mikro dan kecil dalam berbagai aspek yang dibutuhkan, misalnya membeli bahan baku secara bersama-sama sehingga kuantitas yang dibeli dapat lebih besar dan mendapatkan harga yang lebih murah. Di samping itu, dapat pula dilakukan kerja sama antarkoperasi dengan berbagai usaha besar dan BUMN guna memfasilitasi usaha mikro dan kecil melalui program CSR dan PKBL sebagaimana yang akan dibahas pada bab berikutnya.
Hal yang tidak kalah penting adalah jika usaha mikro dan kecil dapat dipersatukan dalam koperasi, maka koperasi dapat memberikan pelatihan bagi pengusaha mikro dan kecil sehingga berbagai hambatan yang selama ini dialami dapat diantisipasi.
Di samping itu, program yang ditawarkan Muhammad Yunus (2004) melalui Grameen Bank merupakan alternatif yang sangat baik untuk mengatasi berbagai persoalan yang tengah dihadapi UMKM. Grameen Bank adalah organisasi pembiayaan usaha mikro dan pengembangan komunitas yang didirikan di Banglades. Program yang dikembangkan Yunus telah dikembangkan di 114 negara dan Yunus mendapatkan hadiah Nobel di bidang perdamaian pada tahun 2006. Program ini menarik untuk diterapkan di Indonesia sebagaimana LKM dan berbagai bentuk pembiayaan usaha mikro lainnya. Jika program ini mendapat dukungan pemerintah, terutama dengan kewajiban CSR dan PKBL, diyakini tingkat kemiskinan akan berkurang sebagaimana yang telah dibuktikan program ini di berbagai negara.

Hukum
Aspek hukum yang paling mendasar bagi UMKM adalah legalitas badan usaha. Sebagian besar UMKM di Indonesia, khususnya usaha kecil dan mikro, tidak berbadan hukum. Dengan kondisi demikian, berbagai hal yang berhubungan dengan pihak ketiga akan sulit untuk dilaksanakan. Misalnya, hubungan ke bank untuk memperoleh pinjaman modal dan hak paten terhadap merek produk, kemasan, dan sebagainya. Sejatinya, pengembangan usaha UMKM harus didukung dengan penguatan kelembagaan. Jika ini tidak dilakukan, maka akan sulit bagi UMKM untuk melakukan perluasan usaha, baik pada aspek modal, pasar, dan sebagainya. Berdasarkan data BPS tahun 2006, UMKM yang berbadan hukum hanya sekitar 4,90%. Data tersebut menunjukkan bahwa 95,10% UMKM yang terdapat di Indonesia tidak berbadan hukum. Jumlah UMKM menurut skala usaha yang berbadan hukum dan yang tidak berbadan hukum dapat dilihat pada Tabel M.6. Menurut Kadin Indonesia, UMKM yang telah berbadan hukum sampai dengan akhir tahun 201 I baru mencapai 20%. Walaupun sudah mengalami kenaikan, tetapi angka tersebut masih terlalu sedikit.
TABEL 4.6
Persentase Status Badan Hukum UMKM pada Tahun 2006
Status Badan Hukum
Mikro
Kecil
Menengah
UMKM
Berbadan hukum
4,37
5,3
14,83
4,90
Tidak berbadan hukum
95,63
94,67
85,17
95, 1 0
Sumber: BPS
Tabel 4.6 menunjukkan tidak hanya usaha mikro dan kecil saja yang tidak berbadan hukum, tetapi usaha berskala menengah juga ada yang tidak memiliki badan hukum. Tidak sedikit usaha menengah yang tidak berbadan hukum. Usaha berskala menengah yang tidak berbadan hukum mencapai angka 85,17%. Ini merupakan persoalan yang terkadang menghambat UMKM untuk berkembang, terutama dalam upaya meningkatkan skala usaha dari mikro menjadi kecil, kecil menjadi menengah, dan menengah menjadi besar.
Dengan kondisi tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa ini merupakan persoalan mendesak yang harus diantisipasi oleh instansi terkait, terutama pemerintah daerah melalui Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Perindustrian, dan Dinas Perdagangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar